Bimantika.net -Persatuan. Olahraga Berkuda (PORDASI) Kota Bima sedang mempersiapkan secara matang pelaksanaan pacuan kuda tradisional Walikota Bima Cup 2024 .
Perbaikan lintasan atau arena perlombaan sudah mencapai 95 persen, baik lintasan maupun kebutuhan umum sebut saja kotak start, pagar lintasan dalam dan luar, perataan lintasan, data Juki, dan kesiapan pemilik kuda sendiri termasuk pengurusan ijin Polda NTB.
Rekomendasi dari berbagai unsur telah dipegang mulai dari rekomendasi lurah sambinae, camat, mpunda, Polsek Rasanae Barat, pernyataan orang tua Juki, pordasi kota bima dan rekomendasikan dari Pak Kapolres Kota Bima semua sudah terpenuhi.
“Insya Allah dalam waktu dekat ijin resmi dari Polda NTB akan keluar” ungkap ketua panitia pelaksana Ihwansyah, SE.
Lanjutnya Panitia pelaksana Pacuan Kuda Kota Bima sedang melaksanakan pendaftaran dan pengukuran kuda yang sudah dimulai pada tanggal 12 Juni tgl 17 dan 18 Juni 2024.
“Rabu 19 Juni dilanjutkan kamis sebagai penutupan pendaftaran dan pengukuran kuda” ujarnya.
Sampai saat ini sekitar 450 ekor kuda Sudah melakukan pendaftaran dan pengukuran yang tersebar di 15 kelas.
“Ada 15 kelas yang kami pertandingkan yaitu kelas TK, OA, OB, THA, THB, TUNAS A, TUNAS B, TUNAS C, DEWASA A,B,C,D,E,F, dan Dewasa G” Ungkap OGO sapaan akrab ketua panitia.
Sementara itu ketua Pordasi kota bima. Sudirman DJ, SH menambahkan Kejuaraan berkuda tradisional ini memperebutkan Piala Tetap Bapak Walikota Bima.
Dengan hadiah yang cukup fantastis untuk tahun 2024 ini sebesar 500 JT rupiah.
“Insya Allah perwakilan Pordasi NTT akan ikut ambil bagian pada pelaksanaan pacuan kali ini” ujar DJ Sapaan akrabnya.
Ketua Pordasi Kota Bima yang akhir-akhir ini dikabarkan akan meramaikan kontestan Pilkada Kota Bima berpasangan dengan petahana HM.Rum walikota Bima saat ini optimis pacuan kuda kota bima akan berjalan lancar sesuai dalam rencana.
Penjabat (Pj) Walikota Bima Ir. H. Mohammad Rum, MT peduli pada pelestarian budaya Pacuan Kuda Kota Bima.
Bentuk kepedulian HM Rum adalah membantu pelaksanaan pacuan kuda dengan anggaran 500 juta rupiah.
“Saat ini saya selaku Pj Walikota Bima hibahkan 500 juta untuk pelaksanaan pacuan kuda, ke depan kita naikkan satu Milyar” ujar HM Rum pada media Bimantika Selasa 18 Juni 2024.
HM Rum menyebut bahwa pacuan kuda adalah warisan leluhur orang Bima yang harus menjadi atensi dan tentu nya di lestarikan.
“Kita bangga dengan warisan leluhur kita oleh karena itu generasi kita dan generasi yang akan datang tentu tugasnya untuk melestarikan warisan budaya ini” ujar HM Rum.
Lanjut HM Rum bahwa disisi lainnya, keberadaan Pacuan Kuda akan menggeliatkan ekonomi arus bawah.
“Dengan Adanya Event Pacuan Kuda di Kota Bima tentu Efek nya adalah adanya geliat ekonomi arus bawah para pelaku UMKM akan mengambil tempat tersendiri dalam arena pacuan kuda” ujarnya.
Secara historis bahwa Pacuan Kuda atau Pacoa jara alias pacoa jara mbojo bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat pribumi pulau Sumbawa, tradisi ini telah dilakukan sejak berabad-abad lalu khususnya oleh masyarakat beretnis Bima dan Sumbawa.
Pacoa jara mengalami revitalisasi masif utamanya sejak tahun 1800-1900an. Bermula dari komandan kavaleri Kesultanan Bima yang bergelar Bumi Jara Nggampo menyeleksi kuda untuk Kesultanan sebagai kuda perang.
Cara yang dilakukan adalah kuda-kuda diadu kekuatan dan kecepatannya di pinggir pantai.
Sejak saat itu, tradisi pacoa jara mulai dikenal dan hidup di tengah-tengah Masyarakat Bima sebagai suatu olahraga pacuan kuda tradisional yang rutin diadakan setiap tahun.
Masyarakat Suku Mbojo di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), secara historis gemar berkuda. Pada massa kesultanan, kuda dimanfaatkan sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi, bahkan menjadi kendaraan perang pasukan berkuda di Istana Bima.
Sejak Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di Nusantara. Saat itu, para pedagang dari berbagai penjuru datang membeli kuda Bima, kemudian dijual di negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima perang.
Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit, dalam buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, juga selalu memilih kuda Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. (***)