Bimantika.net -Banyak orang berilmu mengatakan bahwa segala sesuatu ada ilmunya.
Karena itu, orang tua mengarahkan kita sejak kecil untuk belajar alias menimba ilmu.
Bahkan Nabi Muhammad SAW mengimbau umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla menyebut bahwa orang yang memiliki ilmu tidak cukup jika hanya sebatas berilmu.
Di dalam kehidupan sehari-hari, kerap ditemui orang-orang yang cerdas secara intelektual tetapi ilmunya tidak disertai dengan akhlak atau etika.
Di dalam tradisi NU dan pondok pesantren, para santri tidak hanya diajarkan tentang ilmu tetapi juga belajar memiliki sikap dalam berilmu. Inilah yang disebut Gus Ulil sebagai sikap keilmuan.
“Kalau orang hanya memiliki ilmu yang mendalam atau secara intelektual cerdas tetapi tidak disertai dengan sikap keilmuan yang tepat maka orang itu bisa menjadi pusat kejengkelan orang lain. Kita seringkali merasa tidak suka kepada orang yang secara keilmuan alim, tetapi dia tidak punya akhlak yang baik,” ungkap Gus Ulil dalam tayangan Inilah Penyakit Orang Berilmu diakses NU Online.
Ia menegaskan bahwa godaan terbesar orang berilmu adalah sombong. Bahkan, Gus Ulil menyebut, penyakit orang alim adalah arogansi. Ini terjadi di mana-mana, sejak dulu sampai sekarang. Kesombongan itu membuat ilmu yang ada pada seorang alim, menjadi tidak menarik.
“Seorang alim yang sombong akan membuat orang tidak memiliki simpati kepadanya. Bahkan ilmu yang disertai dengan kesombongan itu bisa mendatangkan musibah dan kerusakan,” tegasnya.
Sikap keilmuan yang paling utama ada dua. Pertama, sakinah atau tenang. Seseorang yang memiliki ilmu sudah seharusnya punya kematangan. Ilmu harus membuat seseorang melakukan pertimbangan-pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, tidak dengan emosional.
“Orang yang memiliki ilmu sudah seharusnya dia bisa mengontrol dirinya, tidak mengumbar statemen (pernyataan) seenaknya dan apalagi membuat kegalauan atau kegusaran pada orang lain,” tegas Gus Ulil.
Kedua, al-hilmun atau sabar. Artinya, ketika orang memiliki ilmu kemudian diperlakukan tidak baik oleh orang lain maka tidak akan membalas dengan perbuatan jelek yang serupa.
Adab lebih penting dari ilmu
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengutip sebuah ungkapan ulama sufi Abdullah bin Mubarak, dalam kitab Adabul Alim wal Muta’alim.
نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ
“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak.”
Kita sering mendengar bahwa di antara ciri yang membedakan manusia dari binatang adalah akal atau ilmu. Pernyataan ini tidak keliru. Tetapi mesti digarisbawahi bahwa di atas ilmu ada yang lebih urgen, yakni adab atau akhlak. Sebab, ilmu seberapa pun banyaknya tanpa disertai adab yang baik akan menjerumuskan manusia dalam perilaku binatang, atau mungkin lebih rendah.
Betapa banyak peperangan, kesewenang-wenangan kekuasaan, kerusakan alam, atau sejenisnya muncul justru karena ditopang kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi zaman sekarang. Karena itu, yang paling mendasar dibutuhkan bagi peradaban manusia adalah adab.
Ilmu Allah laksana samudera tak bertepi. Pun di atas langit keilmuan seseorang, masih ada langit di atasnya lagi. Di atas itu semua ada Dzat yang Maha Mengetahui. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ (76)
“… dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” (Qs. Yusuf: 76)
Kita telah mengetahui bahwa salah satu cara setan menyesatkan manusia adalah dengan harta dan ketamakan terhadap dunia. Akan tetapi, sedikit dari kita yang mengetahui bahwa setan juga menyesatkan manusia melalui ilmu. Yaitu dengan membuat pemilik ilmu tersebut menjadi angkuh, sombong, dan merendahkan manusia karena merasa sudah berilmu.
Umumnya ditunjukkan dengan sifat yang keras, hobi berdebat kusir, dan banyak membicarakan kesalahan orang lain secara tidak bijak.
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata,
إن للعلم ظغيانا كطغيان المال
“Sesungguhnya ilmu memiliki keangkuhan sebagaimana keangkuhan harta.” (an-Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi, hal. 185). (***//Berbagai Sumber)